CERITA AYAHKU
Bendera Merah Putih 17 Agustus 1950 di halaman rumahku.
--- Sudah tidak ada catatan yang jelas pada tahun berapa tepatnya Ayahku [K. Thalib] bersama ipar kandungnya [Ismail Goling] dan adik kandungnya [Abd. Wahab], diciduk dari Kampung Teluk Dalam Asahan menjadi penghuni penjara, apakah tahun 1947 atau tahun 1948. Tak ada lagi narasumber yang hidup dan mengetahuinya secara tepat. Dulu, ketika ayahku menceritakannya, aku tak banyak bertanya untuk menyelidikinya secara tuntas. Aku hanya merekam cerita itu bahwa hanya mereka bertiga dari kampung Teluk Dalam yang dijebloskan ke penjara oleh kaki tangan Belanda yang disebut sebagai ‘Belanda Hitam’, atau NICA (Netherlands-Indies Civil Administration).
--- Mengapa hanya mereka bertiga? Tak lain sebabnya karena pada masa itu sangat
tidak jelas siapa yang republiken siapa yang masih menunggu kedatangan
Belanda?. Ayahku sangat dipengaruhi oleh Syaikh Ismail Abdul Wahhab dari
Tanjung Balai. Meskipun tidak menjadi murid yang rajin berguru kepada beliau,
tetapi sering juga menghadiri pengajian yang diadakan ulama kharismatik ini.
---Syaikh Ismail Abdul Wahab adalah seorang ulama anti penjajahan dan sangat
benci kepada Belanda. Menurut cerita ayahku, bila beliau menyebut Belanda, maka
suaranya langsung bergetar dan matanya memerah seakan ingin menelan penjajah
Belanda bulat-bulat pada saat itu. Semangat anti belanda itu diwariskannya
kepada murid-muridnya untuk berjuang dengan cara apa saja agar Belanda enyah
dari Indonesia.
--- Tak ayal lagi, ayahku pun menjadi orang republiken sejati. Semangat ini
ditularkannya kepada saudara-saudaranya yang terdekat, yaitu kepada Ipar
Kandungnya Incek Ismail Goling [wafat di Medan 1988], dan adik kandungnya
sendiri bapak Abdul Wahab [wafat di Hengelo Air Batu 1987].
--- Ketika Syaikh Ismail Abdul Wahab bersama dengan Abdullah Eteng menjadi
pemimpin Komite Nasional Indonesia (KNI) di Asahan, langsung disambut ayahku
dengan semangat juang membara. Kedua saudaranya [Ismail Goling dan Abdul Wahab]
berpartisipasi dalam membiayai perjuangan lasykar rakyat melawan agresi
belanda, sementara Ayahku dengan kemampuan ala kadarnya dalam bertukang,
merakit senjata api dari pipa besi peninggalan pabrik Alumunium yang gagal
beroperasi di Tanah Biliton Kampung Teluk Dalam Asahan tahun 40-an.
--- Senapang api rakitan ayahku hanyalah ‘senapang locok’. Untuk merakit
senapang locok memerlukan 7 hari untuk satu senapang. Meskipun ‘senapang locok’
gajah pun bisa mati jika terkena pelurunya. Hanya saja untuk menyiapkan 1
(satu) peluru memerlukan waktu 2 jam, karena harus diolah dulu dengan cara
tertentu.
--- Keterlibatan tiga orang bersaudara ini sebagai republiken menjadi rahasia
umum. Ada famili yang menasehati, agar tidak terlibat menjadi republiken,
sebab, sangat mungkin belanda akan datang lagi. Ini sangat berbahaya. Tetapi
ayahku tak pernah peduli. Semangat yang diwariskan Syaikh Ismail Abdul Wahab
tak pernah pudar.
--- Pada suatu hari ayahku mendapat berita, bahwa mereka bertiga akan diambil
oleh kaki tangan NICA. Mereka pun sepakat tidak akan melarikan diri jika
penjemputan datang. Bila melarikan diri, pasti menjadi boronan dan sekaligus
menyusahkan keluarga, apalagi masing-masing memiliki anak-anak yang masih bayi.
--- Begitulah akhirnya, datanglah penjemputan. Orang pertama yang dijemput adalah
Incek Ismail Goling. Incekku ini meminta waktu sejenak untuk berwudu’ sebelum
naik ke mobil, tetapi tidak disetujui, bahkan kakinya ditembak. Sampai akhir
hayatnya peluru ini masih bersarang di betisnya.
--- Penjemputan kedua ke rumah bapak Abdul Wahab [Kakek Kandung Umri Margolang].
Beliau tak rela tangannya diikat. Akibatnya terjadilah perkelahian. Woi...
manalah mungkin satu orang melawan banyak orang. Akibatnya tubuh Pak Wahab
babak belur dihantam pupur senjata.
--- Penjemputan ketiga ke rumah kami. Belum lagi penjemput turun dari mobil,
ayahku sudah mengangkat tangan. Manakala penjemput mendekat, ayahku menyerahkan
tangannya untuk diikat. Strategi ayahku ternyata jitu. Tidak ada penembakan
atau pemukulan seperti yang dialami kedua sudaranya.
--- Mereka mendekam di terali besi dengan waktu yang bervariasi. Ayahku baru
bebas setelah 7 bulan mendekam. Tak jelas bagiku siapa dan lembaga apa, serta
sebab-sebab apa mereka bisa bebas. Konon kabarnya peran Abdullah Eteng sangat
besar bagi pembebasan mereka bertiga.
--- Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1950 bendera merah
putih berkibar di halaman rumah kami. Tidak tanggung-tanggung, bendera itu
diikat ayahku di atas galah bambu berukuran 17 meter, dan dinaikkan lagi di
atas pohon kelapa setinggi 10 meter agar semua orang melihatnya. Ayahku ingin
memberi tahu semua orang, bahwa Belanda sudah kalah, dan jangan ragukan lagi
bahwa Indonesia sudah benar-benar merdeka.
--- Beberapa tahun berikutnya, pemberontakan terjadi silih berganti. Incek
Ismail Goling yang sudah agak phobi mendengar letupan senapang api yang
menyebabkannya harus pindah ke Gang Yahya Kampung Durian Medan tahun 1953. Pak
Wahab juga pindah ke gang yang sama tahun 1958. Ayahku, bersama kami
anak-anaknya tetap bertahan hidup di Kampung Teluk Dalam Asahan.
Artikel ini diambil dari tulisan didinding Facebook Djas Pakcik, dan dibuat untuk mengenang Almarhum Prof. Dr. H. Dja'far Siddik, M.A. Semoga Allah Swt menempatkan Almarhum ditempat terbaik disisi-Nya
3 Komentar
👍👍👍
BalasHapusSeru...
BalasHapustks
BalasHapusTerima kasih atas komentar yang anda berikan, semoga bermanfaat