Sungai Asahan
Kisah Cinta Nenek Moyangku Bag. 1
--- Kampung [Desa] Teluk Dalam
dan sekitarnya sejak zaman dahulu telah memanfaatkan Tangkahan Padang dan
Pisang Binaya yang disinggahi aliran Sungai Asahan sebagai pelabuhan
tradisional. Jarak rumahku hanya lebih kurang 3 Km dari dua pelabuhan
tradisional ini.
--- Ketika masih SR, sungai Asahan ini cukup sering kukunjungi bersama
teman-teman sebaya, hanya sekedar mandi-mandi dan memancing. Airnya sangat
jernih sehingga dasarnya yang berbatu-batu beserta ikan-ikan yang berwarna
warni terlihat jelas dari permukaan, meskipun kedalamannya ada yang mencapai 10
M.
--- Kami tak pernah memasak airnya, teguk saja berapa suka, karena rasanya lebih
orijinal daripada yang dimasak. Pada masa itu penduduk sekitar tak ada yang
memasak air, kecuali untuk membuat minuman kopi atau teh. Sekarang semuanya
tinggal kenangan. Tak usahlah kusebutkan penyebabnya, karena banyak orang sudah
tahu.
--- Menurut cerita ayahku, di pelabuhan tradisional inilah nenek moyangku
singgah di Teluk Dalam, tetapi tidak jelas apakah naik dari pelabuhan Pisang
Binaya, atau dari Tangkahan Padang. Konon, sejak saat itu ompung dari ompung
ayahnya menjadi penduduk menetap di Teluk Dalam.
--- Tarombo [silsilah] kami terputus pada ompung dari ompung ayahku. Mengapa
terputus? Tak lain disebabkan beliau seorang yang "tuli bisu"
terlihat bodoh, sehingga orang-orang menyebutnya "Si Oto" [si Bodoh].
Kata ayahku, teman-teman si Oto ini hanya sejenis "begu-begu" (Jin
atau hantu). Akibatnya dia tersisih dari pergaulan, dan meninggalkan daerah
kelahirannya di Huta Lottung - Muara Tapanuli Utara. Dia merantau ke berbagai
daerah, kemudian sampai ke daerah Bandar Pulau.
--- Di antara berbagai kemahiran Si Oto ini adalah membuat lesung dan antan
(alu) yang berasal dari kayu-kayu pilihan yang sudah tumbang dan terendam lama
di dalam lumpur. Bila ada lesung yang siap, akan diletakkannya di pinggir
sungai untuk barter dengan tembakau dan garam. Beliau sama sekali tidak memakan
hewan melata, seperti babi, rusa, kijang, monyet dan lain-lain. Beliau hanya
memakan ikan yang dipanggang dengan umbi-umbian yang dibakar, seperti ketela,
keladi dan sejenisnya.
--- Ketika usianya tambah dewasa, benih-benih cinta yang menyukai lawan jenisnya
mulai menggelora. Ah... perempuan manalah yang berkenan mendekat padanya
sebagai seorang lelaki yang "bisu tuli". Akan tetapi Tuhan telah
menetapkan takdir-Nya. Pada waktu bulan purnama beliau melihat dari jauh
seorang gadis cina pingitan [sebut saja namanya si Amoy], yang sedang menumbuk padi
di kolong rumahnya. Si Oto berikhtiar bagaimana caranya agar si Amoy yang
jelita ini bisa dekat dengannya. Akhirnya dia menemukan cara dengan membawa
buah-buahan hutan yang harum dan lezat cita rasanya. Dipetiknya durian hutan
yang masak, dan diletakkannya tak jauh dari rumah si Amoy pada malam hari.
--- Aroma durian hutan ini menggelitik penciuman si Amoy, dan segera mencari
asal aroma itu. Ketika itulah si Oto mengeluarkan bahasa isyaratnya bahwa
buah-buahan itu berasal darinya. Si Amoy menduga lelaki tampan yang tak pernah
tersengat panas matahari ini, sengaja tidak bersuara, karena bisa jadi
membangunkan ayah ibunya yang sedang terlelap di peraduan.
--- Pertemuan demi pertemuan berlangsung intensif, bak gayung bersambut, cinta
tidak lagi bertepuk sebelah tangan. Singkat cerita, si Amoy sudah tidak peduli
keadaan si Oto yang bisu tuli, "Bila cinta sudah bersemi yang bisu tuli
pun seakan pintar bernyanyi.
--- Persoalan segera timbul, apakah ayah si Amoy bisa menerima menantu yang bisu
tuli? Tak ada jalan lurus, jalan berbelok pun akan dilalui. Mereka sepakat
"marlojong" (Kawin Lari). Kemana....? Mereka menaiki sampan menuju
hilir, akhirnya sampai di pelabuhan tradisional Kampung Teluk Dalam. Di sanalah
mereka membina rumah tangga bahagia dan memperoleh dua orang putra, si Jotam
dan Si Togam yang berdarah campuran batak dan cina.
--- Satu di antaranya adalah ompung atau kakek dari ayahku? Siapakah dia,
nantilah kapan-kapan kulanjutkan kisah ini.
Bersambung.......
Djas (Copas status FB 05 Nopember 2017)
Artikel ini diambil dari tulisan didinding Facebook Djas Pakcik, dan dibuat untuk mengenang Almarhum Prof. Dr. H. Dja'far Siddik, M.A. Semoga Allah Swt menempatkan Almarhum ditempat terbaik disisi-Nya
0 Komentar
Terima kasih atas komentar yang anda berikan, semoga bermanfaat